Oleh: Zulfa Ihsan
S |
Salah satu cerpen karya Gusti Trisno berjudul “Mencari Ustadz” dimuat surat
kabar Republika tanggal 16 Juli 2017. Cerpen ini membahas fenomena dekadensi
karakter pemuda, kemiskinan dan praktik negara terhadap agama. Cerpen ini
dianalisis menggunakan pendekatan mimesis. Relevansinya antara kenyataan dan rekaan
dianggap penting oleh para ahli sastra. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan
saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan, suatu
karya sastra (rekaan) pastilah berasal dari sebuah kenyataan di lapangan. Fenomena dekadensi karakter pemuda menarik untuk
dibahas ketika pemerintah telah mencanangkan peta jalan Generasi Emas Indonesia
2045[1]. Dalam
hal ini terdapat 2 visi yang berkaitan dengan karakter. Pertama, sumber daya
manusia Indonesia yang kecerdasannya menggunguli bangsa-bangsa lain. kedua,
masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pluralitas, berbudaya, religius,
dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Namun, hal ini bertolak belakang
dengan fenomena yang muncul ke permukaan dalam konteks kekinian. Cerpen mencari ustaz menceritakan seorang guru
ngaji bernama Mail yang merasa sakit hati melihat kondisi musolla yang ramai
suara lantunan ngaji anak kecil, namun kini menjadi tempat kongkow-kongkow
sekelompok pemuda.
Mail menahan sesak saat melintasi Musala Nurul Iman di
kelurahan Iman Sekali. Sungguh, pemuda yang belum genap dua tahun menikah itu
tak mengira tempat yang harusnya ramai suara lantunan ngaji anak kecil berubah
menjadi tempat kongkow-kongkow anak muda. Dalam hatinya timbul rasa sakit,
melebihi sakitnya hati akibat istri merajuk meminta tambahan uang belanjaan.
Langkah kaki lelaki itu pun dijauhkan dari musala
tempatnya mengajarnya dulu. Tapi, semakin jauh melangkah. Semakin sesak
merayapi dada. Sesaat ia mengingat-ngingat kejadian beberapa lalu.
Semua dimulai ketika ia diancam oleh sekelompok pemuda
untuk berhenti mengajari ngaji. Mail bukannya takut, ia lebih memerhatikan
keamanan istrinya. Apalagi ancaman bukan hanya sekali-dua kali, tapi
berkali-kali ia rasakan. Mulai lemparan batu atau tulisan-tulisan bernada ancaman
di gedung rumahnya.
(Hlm. 1)
Pada kutipan cerpen di atas dijelaskan aktivitas pemuda yang gemar
kongkow-kongkow di depan musolla dan berbuat onar di tempat ibadah tersebut. Data di atas juga terjadi dalam kehidupan
masyarakat Indonesia khususnya bagi remaja, yakni budaya kongkow-kongkow di
berbagai tempat seperti pinggir jalan, jembatan, warung kopi bahkan depan
masjid, lebih dari itu sampai melakukan perusakan tempat ibadah. Hal ini dapat dibuktikan pada data berjudul berikut:
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Pelaku perusakan masjid di Jalan
Mataram No.1 akhirnya tertangkap. Pelaku berinisial AG (20) ini mengaku
melakukan hal tersebut karena merasa tersinggung dengan perkataan penjaga
masjid tersebut kepadanya.
Kabid Humas Polda DIY, AKBP Yulianto saat dihubungi melalui sambungan
telepon seluler membenarkan bahwa pelaku perusakan telah ditangkap, Senin
(9/10/2017) siang di rumah pelaku. Menurutnya, AG ditangkap di rumah saat
bersama seorang temannya.
"Pelaku ditangkap di rumahnya yang berada di sekitar
pojok beteng kulon kemarin, sekitar jam 1 siang. Saat ditangkap pelaku bersama
satu temannya, namun untuk pelaku perusakan tetap si AG ini," katanya.
Seorang saksi yang diamankan bersama AG memang bersama pelaku
malam harinya, namun tidak ikut dalam aksi perusakan masjid tersebut.Setelah
dilakukan penyelidikan, pelaku mengaku melakukan perusakan tersebut karena
tersinggung dengan penjaga masjid.
"Keterangan dari tersangka, dia melakukan perusakan karena
tersinggung dengan penjaga yang berada di masjid itu. Untuk masalah anjing itu
dia malah tak tahu menahu," jelasnya.
Diketahui pula bahwa saat melakukan perusakan tersebut pelaku
dalam kondisi dibawah pengaruh alkohol.
"Mungkin pelaku salah paham dengan penjaga masjid karena
dikira mengusir dia, padahal penjaga masjid sedang mengeluarkan anjing. Tak
lama kemudian AG marah-marah dan merusak masjid, ternyata AG dalam kondisi
mabuk saat melakukan perbuatannya itu," kata dia. Karena perbuatan pelaku telah
menyalahi hukum dan undang-undang yang berlaku, AG dikenai pasal 406 KUHP
tentang perusakan barang.
Melalui tulisan ini penulis sadar
bahwa dunia pendidikan telah mengalami dekadensi pendidikan karakter. Berbagai
kasus yang melibatkan antara siswa dan guru muncul ke permukaan dalam konteks
kekinian. Predikat Indonesia mengalami
dekadensi pendidikan karakter merupakan suatu pembenaran. Pendidikan telah jauh
dari nilai-nilai dasar filosofisnya. Guru yang seharusnya digugu, kini menjadi
sosok yang tidak dihormati oleh muridnya. Kemudian mengabaikan sikap moralitas,
menghormati dan etika, teralineasi dari fitrahnya. Bahkan lebih parah lagi,
guru yang seharusnya menjadi panutan bagi muridnya, kini telah menjadi sosok
yang tidak patut ditiru. Hal ini telah jauh dari makna filosofi pendidikan ala
Ki Hadjar Dewantara (Ing Ngarsa Sung
Tuladha, ing madya mangun karsa, Tut
Wuri Handayani).
Problem Agama dan Kemiskinan
Karya sastra lahir di tengah –tengah masyarakat sebagai hasil dari
imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di
sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan
pandangan dunianya kepada subjek kolektifnya. Signifikansi yang dielaborasikan
subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah
karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu. Keberadaan
sastra yang demikian itu, menjadikan sastra dapat diposisikan sebagai dokumen
sosialnya (Jabrohim, 2003:59). Karya sastra berusaha menemukan dimensi-dimensi
tersembunyi dalam kehidupan manusia, dimensi-dimensi yang tidak terjangkau oleh
kualitas evidensi empiris. Dimensi realitas sosial yang digambarkan berhubungan
dengan sosial, ekonomi dan agama.
Fenomena problem keagamaan penting untuk dibahas karena akhir-akhir ini
telah banyak peristiwa yang melibatkan agama. Agama merupakan suatu kekuatan nilai
yang diyakini dapat memandu kehidupan manusia menjadi lebih baik. Keberadaan
agama seharusnya menjadi suatu peran strategis manakala diaktualisasikan dalam
rangka menjaga eksistensi kebangsaan itu sendiri. Akmad Taufiq (2017:60)
menggambarkan adanya hubungan agama dengan struktur di luar dirinya. Agama,
selain menyangkut hubungan antarumat, tidak jarang bersinggungan dengan
realitas sosial, dan politik. Agama bukan struktur yang otonom yang terpisah
sama sekali dengan struktur di luar agama. Ia selalu terhubung dan terikat
dengan struktur di luar dirinya; apakah struktur itu disebut sebagai struktur
sosial, politik, ataukah budaya, bahkan dimungkinkan semua struktur di luar
agama itu terhubung dan terikat secara bersamaan.
Kemiskinan muncul sebagai istilah yang menggambarkan sebuah kondisi di mana
seseorang, sejumlah atau sekelompok orang berada dalam tingkatan kekurangan
dibandingkan dengan standar kehidupan umum yang layak berlaku di masyarakat.
saat ini, definisi istilah kemiskinan semakin meluas. Hal ini seiring dengan
semakin luas dan kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun masalah-masalah
lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi dianggap sebagai persoalan yang
berada dalam wilayah ekonomi, akan tetapi sudah meluas sampai ke dimensi sosial,
kesehatan, pendidikan, bahkan politik. Dalam mendefinisikan dan membagi-bagi
kemiskinan ke dalam berbagai aspek, diantaranya kemiskinan pendidikan,
kemiskinan harta, kemiskinan moral, dan kemiskinan agama (iman).
Masalah kemiskinan dapat menimbulkan konflik-konflik sosial manakala
terjadi ketidakadilan terhadap seseorang atau suatu kelompok masyarakat.
Dimensi agama dan kemiskinan memiliki suatu keterhubungan. Keterhubungan itu
dapat diandaikan 2 pola hubungan. Pertama, kemiskinan dapat menyebabkan konflik
horisontal dalam ruang lingkup agama. Kedua, kemiskinan agama menyebabkan
seseorang atau suatu kelompok masyarakat melanggar norma-norma sosial yang
berlaku di suatu tempat.
Fenomena konflik sosial dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Pertama,
konflik sosial timbul karena masyarakat terdiri atas sejumlah kelompok sosial
yang mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Kedua, disparitas
(kemiskinan) bisa menjadi pemicu terjadinya konflik sosial. Ketiga, konflik
sosial bisa terjadi karena terjadinya migrasi manusia dari suatu tempat ke
tempat lain. Keempat, konflik sosial dapat terjadi antarkelompok sosial yang
karakteristik dan perilaku yang inklusif. Kelompok-kelompok sosial tersebut
saling terpisah dan ingin mendominasi kehidupan politik, ekonomi, dan
kemasyarakatan (wirawan, 2010:81). Hal tersebut tergambarkan dalam cerpen mencari ustaz sebagai berikut:
Beberapa warga ada yang berspekulasi
bahwa uang Si Pejabat itu dikorupsi oleh pengajar ngaji itu. Fitnah terus
bergulir, semakin banyak masyarakat yang ingin mengusir keluarga itu. Rumah dan
musala dipenuhi coretan kata-kata kotor yang luar biasa. Anak-anak yang
terbiasa mengaji dicegat dan disuruh pulang.
Kejadian tersebut membuat masyarakat
di wilayah yang tak ingin diingat Mail itu terpecah menjadi dua, yakni kelompok
yang pro dengan keluarga Mail dan kelompok kontra. Walaupun begitu, kelompok
kontra memiliki massa yang demikian lebih banyak.
Mail kecil sudah dihadapkan pada
trauma yang sedemikian berat itu. Mengingat bukan hanya ayahnya yang
mendapatkan ancaman akan dibunuh, tetapi juga dirinya sendiri. Si Ayah bahkan
harus menabahkan Mail berkali-kali, bahwa perjalanan yang mereka lakukan itu
sebenarnya adalah ujian.
Dari Ayahnya pula, Mail belajar
tersenyum sekalipun nyawa mereka selalu diancam. Tepatnya pada malam jahanam
itu, kerusuhan pecah menuntut keluarga Mail pergi dari desa itu. Guna
mengurangi amuk masa, keluarga Mail diamankan oleh kepolisian. Sekalipun
keesokannya muncul rumor bcahwa
keluarga tersebut dipukuli hingga babak belur. Apalagi, sejak kejadian itu
mereka tak pernah kembali ke rumah dan musala yang dibangun dengan
berdarah-darah.
Polisi sebenarnya berupaya melakukan
mediasi, tapi keluarga Mail menolak untuk hal tersebut. Mereka lebih memilih
hijrah ke tempat lain, sekalipun naas sebelum menggapai tanah itu. Nyawa ayah
dan ibu Mail dipanggil oleh Sang Pencipta.
Mail pun merasakan kesakitan dan
kehilangan yang berlipat-lipat. Untungya, ia ditemukan oleh orang pesantren
teman orangtuanya di jalan. Hingga ia bisa terus mendoakan kedua orangtuanya.
Dan satu hal yang tak disangka-sangka Mail, jalan hidupnya kini tak jauh dari
kejadian yang pernah menimpa orangtuanya.
Hanya saja, ia memilih jalan aman
untuk menuruti permintaan preman yang merasa terganggu dengan kegiatan mengaji
itu. Semua demi istrinya, juga demi menghilangkan rasa trauma sewaktu ia masih
kecil.
Kenangan hitam itu benar-benar
merasuki pikiran Mail. Bak sebuah film yang diputar jelas d depan matanya.
Sungguh, ia merasa begitu kerdil dibandingkan usaha dan kegigihan ayahnya dalam
berdakwah.
Suatu kenangan buruk yang terjadi seringkali
menimbulkan perasaan traumatik yang berkepanjangan. Realitas yang sering
terjadi di masyarakat dibingkai dalam suatu karya sastra yang estetik. Gusti
Trisno mampu menghadirkan permasalahan konflik horisontal yang terjadi akibat
persoalan lingkup agama. Konflik yang menghadirkan kelompok pro dan kontra.
Tokoh mail yang mengalami trauma buruk yang terjadi pada keluarganya beberapa
tahun silam. Kegigihan ayahnya dalam berdakwah kandas disebabkan konflik yang
tidak dapat terbendung lagi yang akhirnya berujung kematian.
“Waktu kamu kecil, saya juga ada di tempat kejadian itu. Fitnah yang
dialami orangtuamu itu jauh lebih kejam dibandingkan kita. Ayahmu tak hanya
melawan preman yang merasa terganggu dengan aktivitas mengaji, ia juga melawan
kelompok kecil yang iri dengan perkembangan pengajiannya. Dalam hal ini, tempat
mengaji yang lain.”
Pada data di atas menunjukkan bahwa terdapat kecemburuan sosial yang
terjadi akibat faktor kemiskinan. Kurang pemahaman agama menimbulkan tindakan
represif terhadap kegiatan keagamaan. Faktor ekonomi juga bisa terjadi manakala
kegiatan keagamaan tersebut meningkatkan perekonomian masyarakat.
Relasi kekuasaan dan agama
Agama secara fundamental merupakan suatu wilayah yang sangat individual.
Oleh karena itu, peristiwa teologis merupakan peristiwa yang individual dan
privat juga. Otoritas apapun perlu memberi ruang seluas dan sedalam mungkin
terhadap berkembangnya peristiwa dan pengalaman teologis itu. Otoritas apapun
termasuk negara (kekuasaan) tidak diperbolehkan melakukan intervensi atas
peristiwa dan berkembangnya pengalaman teologis tersebut[2]. Negara
(kekuasaan) dalam melanggengkan kekuasaan seringkali dikaitkan dengan
keagamaan. Peristiwa teologis dirasakan oleh subjek kolektif sebagai pedoman
hidup. peristiwa teologis itulah seringkali dimanfaatkan oleh negara untuk
melanggengkan kekuasaan.
Tapi, tak dinyana keindahan itu
berlangsung sementara. Ada beberapa pejabat kabupaten yang datang mengunjungi
ayahnya. Tentu selaku tuan rumah, tamu perlu diistimewakan. Apalagi ada sebuah
pandangan jika dengan bertamu dan menerima tamu menambah rezeki. Hal itu
ternyata benar-benar terjadi.
Si Pejabat Kabupaten itu memberikan
beberapa juta demi pembangunan musala. Sungguh, ayah Mail langsung menerima.
Sekalipun Ibu Mail tak menerima akibat takut jika uang tersebut merupakan suap
demi tercapainya kepentingan Si Pejabat Kabupaten. Tapi, Ayah Mail bersikukuh
menerima pundi-pundi rupiah.
“Si Pejabat itu memberikan hal
tersebut katanya sebagai nazar ketika terpilih. Dan bukankah pemilukada telah
berakhir. Jadi, apa yang perlu ditakutkan.”
Mendengar penjelasan itu, Mail kecil
dan ibunya menjadi lega. Pembangunan musala pun langsung dilakukan. Musala yang
awalnya hanya berupa ayaman kayu berubah menjadi bangunan permanen dengan
baluran semen. Akibatnya santri di tempat tersebut bertambah.
Fenomena yang terjadi pada cerpen mencari ustaz mengkisahkan seorang
pejabat bernazar ketika terpilih lagi akan membangun tempat ibadah setelah
pemilu usai. Hal tersebut tentunya menjadi perhatian masyarakat sekitar kampung
tersebut. akibat terjadi framing bahwasannya pejabat tersebut bermaksud baik.
Fenomena tersebut biasa terjadi di Indonesia. praktik-praktik seperti datang ke
pesantren, kediaman kyai, pembangunan masjid, membangun kelompok religius dsb.
Membaca keseluruhan karya-karya yang Gusti Trisno
tulis dapat disadari dan diambil benang merahnya, seperti museum ibu, burung bapak yang membuatku cemburu, sebuah harapan di tanah
rantau, kematian cerita, cerita yang mengubah segalanya, mereka bilang ibuku
monster, sifat kembali uang, rujak kenangan, dan angka-angka yang pandai
berbicara, yakni permasalahan yang terjadi tidak jauh dari ruang lingkup
keluarga. Keluarga menjadi tempat pembinaan dan menguatkan satu sama lain.
Pentingnya pendidikan karakter sejak/mulai dari ruang lingkup keluarga.
Kurangnya harmonis hubungan antar keluarga menimbulkan konflik dan
permasalahan. Cerpen mencari ustaz menghadirkan
3 permasalahan, yaitu fenomena
dekadensi karakter pemuda, kemiskinan dan praktik negara terhadap agama. Namun,
dalam alur kisahnya sedikit sulit dipahami karena sering terjadi perubahan
tempat dan peristiwa.
Daftar
Rujukan
Taufiq, Akmad.
2017. Sastra multikultural kontruksi identitas
dan praktik diskursif negara dalam berkembangan Sastra Indonesia. Intras
Publishing: Malang.
Kemendikbud.
2017. Peta jalan generasi emas 2045.
Sipayung,
Margaretha Ervina. 2016. Konflik sosial
dalam novel maryam karya okky madasari: kajian sosiologi sastra. Jurnal
Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 10, no 1, hal 23-34.
[1]
Kemendikbud RI, 2017.
[2]
Taufiq, Akmad. 2017. Sastra multikultural kontruksi identitas dan
praktik diskursif negara dalam berkembangan Sastra Indonesia. Intras
Publishing: Malang.