Literasi SMA Fullday Al-Muhajirin

Selamat di platform Gerakan Literasi Winaya (GERILYA) SMA Fullday Al-Muhajirin

DUA SISI YANG BERBEDA DI DUNIA MODERN (DARI CERPEN MENCARI USTAZ KARYA GUSTI TRISNO)


 

Oleh: Zulfa Ihsan

S

utrisno G. Alfarizi atau yang akrab dipanggil Gusti Trisno. Lahir di Situbondo, 26 Desember 1995. sejak kecil hingga remaja ia tinggal dan besar dalam lingkungan masyarakat nelayan di desa kilensari, panarukan. Kehidupannya yang dekat masyarakat nelayan sarat akan kesederhanaan. Alumni SMAN 1 Panarukan dan SMPN 1 Panarukan ini telah menyelesaikan kehidupan sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Jember. Prestasi yang pernah ia dapat berhubungan dunia menulis adalah menjadi juara ketiga event cyclovest penerbit leutikaprio, juara ketiga lomba menulis Cerpen Islami (LMCI) tingkat mahasiswa FKIP Universitas Jember, Juara pertama Lomba Tangkai Seni Penulisan Cerpen dala acara “Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Regional Universitas Jember”, dan juara kedua Lomba Tangkai Seni Penulisan Cerpen dalam acara “Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Daerah Jawa Timur. Tulisan-tulisannya dalam bentuk cerpen, essay, dan liputan telah dimuat di beberapa media di antaranya: Radar Banyuwangi (Jawa Pos Grup), Malang post (Jawa Pos Grup), Majalah Buletin Pustaka (Semarang, Jawa Tengah), Radar Jember (Jawa Pos Grup), Tanjung Pinang Pos, Berita Pagi (Palembang), Pikiran Rakyat (Bandung), dan nusantara news. Selain itu, tulisannya juga nyempil di belasan antologi bersama di berbagai penerbit, di antaranya: The Power Of Believe (Diva Press), Surat Cinta Untuk Ibu #part 2 (AE Publishing), dan guru dalam memoriku (Penerbit Meta Kata). Cerpen pertama yang ditulis ketika SMA, menceritakan pengalaman pribadi tidak jadi sekolah di Ponpes Nurul Jadid. Hingga akhirnya sekolah di SMA Umum. Tetapi, cerpen pertama yang dikirimkan lomba berjudul Kerudung Cinta dari Facebook. Ia juga pernah menulis buku antologi yang berjudul “Museum Ibu”. Dari beberapa cerpen yang dimuat merefleksikan berbagai macam permasalahan kehidupan sehari-hari. Tema-tema cerpen yang diangkat adalah kisah seputar keluarga, tetangga, adat istiadat, di kampung, kampus dan cerpen-cerpen gusti trisno yang lainnya. Salah satu cerpen yang dimuat surat kabar Radar Jember berjudul “Mereka Bilang Ibuku Monster” mengkisahkan seorang anak yang tidak terima Ibunya memiliki mata satu. Cerpen ini menasehati pembaca bahwa keberadaan Ibu harus selalu dihormati dan disayangi. Dalam hal ini, seperti kisah Malin Kundang dengan Ibunya.

Salah satu cerpen karya Gusti Trisno berjudul “Mencari Ustadz” dimuat surat kabar Republika tanggal 16 Juli 2017. Cerpen ini membahas fenomena dekadensi karakter pemuda, kemiskinan dan praktik negara terhadap agama. Cerpen ini dianalisis menggunakan pendekatan mimesis. Relevansinya antara kenyataan dan rekaan dianggap penting oleh para ahli sastra. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan,  suatu karya sastra (rekaan) pastilah berasal dari sebuah kenyataan di lapangan. Fenomena dekadensi karakter pemuda menarik untuk dibahas ketika pemerintah telah mencanangkan peta jalan Generasi Emas Indonesia 2045[1]. Dalam hal ini terdapat 2 visi yang berkaitan dengan karakter. Pertama, sumber daya manusia Indonesia yang kecerdasannya menggunguli bangsa-bangsa lain. kedua, masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pluralitas, berbudaya, religius, dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Namun, hal ini bertolak belakang dengan fenomena yang muncul ke permukaan dalam konteks kekinian. Cerpen mencari ustaz menceritakan seorang guru ngaji bernama Mail yang merasa sakit hati melihat kondisi musolla yang ramai suara lantunan ngaji anak kecil, namun kini menjadi tempat kongkow-kongkow sekelompok pemuda.

Mail menahan sesak saat melintasi Musala Nurul Iman di kelurahan Iman Sekali. Sungguh, pemuda yang belum genap dua tahun menikah itu tak mengira tempat yang harusnya ramai suara lantunan ngaji anak kecil berubah menjadi tempat kongkow-kongkow anak muda. Dalam hatinya timbul rasa sakit, melebihi sakitnya hati akibat istri merajuk meminta tambahan uang belanjaan.

Langkah kaki lelaki itu pun dijauhkan dari musala tempatnya mengajarnya dulu. Tapi, semakin jauh melangkah. Semakin sesak merayapi dada. Sesaat ia mengingat-ngingat kejadian beberapa lalu.

Semua dimulai ketika ia diancam oleh sekelompok pemuda untuk berhenti mengajari ngaji. Mail bukannya takut, ia lebih memerhatikan keamanan istrinya. Apalagi ancaman bukan hanya sekali-dua kali, tapi berkali-kali ia rasakan. Mulai lemparan batu atau tulisan-tulisan bernada ancaman di gedung rumahnya.

(Hlm. 1)

Pada kutipan cerpen di atas dijelaskan aktivitas pemuda yang gemar kongkow-kongkow di depan musolla dan berbuat onar di tempat ibadah tersebut. Data di atas juga terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya bagi remaja, yakni budaya kongkow-kongkow di berbagai tempat seperti pinggir jalan, jembatan, warung kopi bahkan depan masjid, lebih dari itu sampai melakukan perusakan tempat ibadah. Hal ini dapat dibuktikan pada data berjudul berikut:

TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Pelaku perusakan masjid di Jalan Mataram No.1 akhirnya tertangkap. Pelaku berinisial AG (20) ini mengaku melakukan hal tersebut karena merasa tersinggung dengan perkataan penjaga masjid tersebut kepadanya.

Kabid Humas Polda DIY, AKBP Yulianto saat dihubungi melalui sambungan telepon seluler membenarkan bahwa pelaku perusakan telah ditangkap, Senin (9/10/2017) siang di rumah pelaku. Menurutnya, AG ditangkap di rumah saat bersama seorang temannya.

"Pelaku ditangkap di rumahnya yang berada di sekitar pojok beteng kulon kemarin, sekitar jam 1 siang. Saat ditangkap pelaku bersama satu temannya, namun untuk pelaku perusakan tetap si AG ini," katanya.

Seorang saksi yang diamankan bersama AG memang bersama pelaku malam harinya, namun tidak ikut dalam aksi perusakan masjid tersebut.Setelah dilakukan penyelidikan, pelaku mengaku melakukan perusakan tersebut karena tersinggung dengan penjaga masjid.

"Keterangan dari tersangka, dia melakukan perusakan karena tersinggung dengan penjaga yang berada di masjid itu. Untuk masalah anjing itu dia malah tak tahu menahu," jelasnya.

Diketahui pula bahwa saat melakukan perusakan tersebut pelaku dalam kondisi dibawah pengaruh alkohol.

"Mungkin pelaku salah paham dengan penjaga masjid karena dikira mengusir dia, padahal penjaga masjid sedang mengeluarkan anjing. Tak lama kemudian AG marah-marah dan merusak masjid, ternyata AG dalam kondisi mabuk saat melakukan perbuatannya itu," kata dia. Karena perbuatan pelaku telah menyalahi hukum dan undang-undang yang berlaku, AG dikenai pasal 406 KUHP tentang perusakan barang.

Melalui tulisan ini penulis sadar bahwa dunia pendidikan telah mengalami dekadensi pendidikan karakter. Berbagai kasus yang melibatkan antara siswa dan guru muncul ke permukaan dalam konteks kekinian. Predikat Indonesia mengalami dekadensi pendidikan karakter merupakan suatu pembenaran. Pendidikan telah jauh dari nilai-nilai dasar filosofisnya. Guru yang seharusnya digugu, kini menjadi sosok yang tidak dihormati oleh muridnya. Kemudian mengabaikan sikap moralitas, menghormati dan etika, teralineasi dari fitrahnya. Bahkan lebih parah lagi, guru yang seharusnya menjadi panutan bagi muridnya, kini telah menjadi sosok yang tidak patut ditiru. Hal ini telah jauh dari makna filosofi pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara (Ing Ngarsa Sung Tuladha, ing madya mangun karsa, Tut Wuri Handayani).

 

Problem Agama dan Kemiskinan

Karya sastra lahir di tengah –tengah masyarakat sebagai hasil dari imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya kepada subjek kolektifnya. Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian itu, menjadikan sastra dapat diposisikan sebagai dokumen sosialnya (Jabrohim, 2003:59). Karya sastra berusaha menemukan dimensi-dimensi tersembunyi dalam kehidupan manusia, dimensi-dimensi yang tidak terjangkau oleh kualitas evidensi empiris. Dimensi realitas sosial yang digambarkan berhubungan dengan sosial, ekonomi dan agama.

Fenomena problem keagamaan penting untuk dibahas karena akhir-akhir ini telah banyak peristiwa yang melibatkan agama. Agama merupakan suatu kekuatan nilai yang diyakini dapat memandu kehidupan manusia menjadi lebih baik. Keberadaan agama seharusnya menjadi suatu peran strategis manakala diaktualisasikan dalam rangka menjaga eksistensi kebangsaan itu sendiri. Akmad Taufiq (2017:60) menggambarkan adanya hubungan agama dengan struktur di luar dirinya. Agama, selain menyangkut hubungan antarumat, tidak jarang bersinggungan dengan realitas sosial, dan politik. Agama bukan struktur yang otonom yang terpisah sama sekali dengan struktur di luar agama. Ia selalu terhubung dan terikat dengan struktur di luar dirinya; apakah struktur itu disebut sebagai struktur sosial, politik, ataukah budaya, bahkan dimungkinkan semua struktur di luar agama itu terhubung dan terikat secara bersamaan.

Kemiskinan muncul sebagai istilah yang menggambarkan sebuah kondisi di mana seseorang, sejumlah atau sekelompok orang berada dalam tingkatan kekurangan dibandingkan dengan standar kehidupan umum yang layak berlaku di masyarakat. saat ini, definisi istilah kemiskinan semakin meluas. Hal ini seiring dengan semakin luas dan kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun masalah-masalah lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi dianggap sebagai persoalan yang berada dalam wilayah ekonomi, akan tetapi sudah meluas sampai ke dimensi sosial, kesehatan, pendidikan, bahkan politik. Dalam mendefinisikan dan membagi-bagi kemiskinan ke dalam berbagai aspek, diantaranya kemiskinan pendidikan, kemiskinan harta, kemiskinan moral, dan kemiskinan agama (iman).

Masalah kemiskinan dapat menimbulkan konflik-konflik sosial manakala terjadi ketidakadilan terhadap seseorang atau suatu kelompok masyarakat. Dimensi agama dan kemiskinan memiliki suatu keterhubungan. Keterhubungan itu dapat diandaikan 2 pola hubungan. Pertama, kemiskinan dapat menyebabkan konflik horisontal dalam ruang lingkup agama. Kedua, kemiskinan agama menyebabkan seseorang atau suatu kelompok masyarakat melanggar norma-norma sosial yang berlaku di suatu tempat.

Fenomena konflik sosial dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Pertama, konflik sosial timbul karena masyarakat terdiri atas sejumlah kelompok sosial yang mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Kedua, disparitas (kemiskinan) bisa menjadi pemicu terjadinya konflik sosial. Ketiga, konflik sosial bisa terjadi karena terjadinya migrasi manusia dari suatu tempat ke tempat lain. Keempat, konflik sosial dapat terjadi antarkelompok sosial yang karakteristik dan perilaku yang inklusif. Kelompok-kelompok sosial tersebut saling terpisah dan ingin mendominasi kehidupan politik, ekonomi, dan kemasyarakatan (wirawan, 2010:81). Hal tersebut tergambarkan dalam cerpen mencari ustaz sebagai berikut:

Beberapa warga ada yang berspekulasi bahwa uang Si Pejabat itu dikorupsi oleh pengajar ngaji itu. Fitnah terus bergulir, semakin banyak masyarakat yang ingin mengusir keluarga itu. Rumah dan musala dipenuhi coretan kata-kata kotor yang luar biasa. Anak-anak yang terbiasa mengaji dicegat dan disuruh pulang.

Kejadian tersebut membuat masyarakat di wilayah yang tak ingin diingat Mail itu terpecah menjadi dua, yakni kelompok yang pro dengan keluarga Mail dan kelompok kontra. Walaupun begitu, kelompok kontra memiliki massa yang demikian lebih banyak.

Mail kecil sudah dihadapkan pada trauma yang sedemikian berat itu. Mengingat bukan hanya ayahnya yang mendapatkan ancaman akan dibunuh, tetapi juga dirinya sendiri. Si Ayah bahkan harus menabahkan Mail berkali-kali, bahwa perjalanan yang mereka lakukan itu sebenarnya adalah ujian.

Dari Ayahnya pula, Mail belajar tersenyum sekalipun nyawa mereka selalu diancam. Tepatnya pada malam jahanam itu, kerusuhan pecah menuntut keluarga Mail pergi dari desa itu. Guna mengurangi amuk masa, keluarga Mail diamankan oleh kepolisian. Sekalipun keesokannya muncul rumor bcahwa keluarga tersebut dipukuli hingga babak belur. Apalagi, sejak kejadian itu mereka tak pernah kembali ke rumah dan musala yang dibangun dengan berdarah-darah.

Polisi sebenarnya berupaya melakukan mediasi, tapi keluarga Mail menolak untuk hal tersebut. Mereka lebih memilih hijrah ke tempat lain, sekalipun naas sebelum menggapai tanah itu. Nyawa ayah dan ibu Mail dipanggil oleh Sang Pencipta.

Mail pun merasakan kesakitan dan kehilangan yang berlipat-lipat. Untungya, ia ditemukan oleh orang pesantren teman orangtuanya di jalan. Hingga ia bisa terus mendoakan kedua orangtuanya. Dan satu hal yang tak disangka-sangka Mail, jalan hidupnya kini tak jauh dari kejadian yang pernah menimpa orangtuanya.

Hanya saja, ia memilih jalan aman untuk menuruti permintaan preman yang merasa terganggu dengan kegiatan mengaji itu. Semua demi istrinya, juga demi menghilangkan rasa trauma sewaktu ia masih kecil.

Kenangan hitam itu benar-benar merasuki pikiran Mail. Bak sebuah film yang diputar jelas d depan matanya. Sungguh, ia merasa begitu kerdil dibandingkan usaha dan kegigihan ayahnya dalam berdakwah.

Suatu kenangan buruk yang terjadi seringkali menimbulkan perasaan traumatik yang berkepanjangan. Realitas yang sering terjadi di masyarakat dibingkai dalam suatu karya sastra yang estetik. Gusti Trisno mampu menghadirkan permasalahan konflik horisontal yang terjadi akibat persoalan lingkup agama. Konflik yang menghadirkan kelompok pro dan kontra. Tokoh mail yang mengalami trauma buruk yang terjadi pada keluarganya beberapa tahun silam. Kegigihan ayahnya dalam berdakwah kandas disebabkan konflik yang tidak dapat terbendung lagi yang akhirnya berujung kematian.

  “Waktu kamu kecil, saya juga ada di tempat kejadian itu. Fitnah yang dialami orangtuamu itu jauh lebih kejam dibandingkan kita. Ayahmu tak hanya melawan preman yang merasa terganggu dengan aktivitas mengaji, ia juga melawan kelompok kecil yang iri dengan perkembangan pengajiannya. Dalam hal ini, tempat mengaji yang lain.”

Pada data di atas menunjukkan bahwa terdapat kecemburuan sosial yang terjadi akibat faktor kemiskinan. Kurang pemahaman agama menimbulkan tindakan represif terhadap kegiatan keagamaan. Faktor ekonomi juga bisa terjadi manakala kegiatan keagamaan tersebut meningkatkan perekonomian masyarakat.

 

Relasi kekuasaan dan agama

Agama secara fundamental merupakan suatu wilayah yang sangat individual. Oleh karena itu, peristiwa teologis merupakan peristiwa yang individual dan privat juga. Otoritas apapun perlu memberi ruang seluas dan sedalam mungkin terhadap berkembangnya peristiwa dan pengalaman teologis itu. Otoritas apapun termasuk negara (kekuasaan) tidak diperbolehkan melakukan intervensi atas peristiwa dan berkembangnya pengalaman teologis tersebut[2]. Negara (kekuasaan) dalam melanggengkan kekuasaan seringkali dikaitkan dengan keagamaan. Peristiwa teologis dirasakan oleh subjek kolektif sebagai pedoman hidup. peristiwa teologis itulah seringkali dimanfaatkan oleh negara untuk melanggengkan kekuasaan.

Tapi, tak dinyana keindahan itu berlangsung sementara. Ada beberapa pejabat kabupaten yang datang mengunjungi ayahnya. Tentu selaku tuan rumah, tamu perlu diistimewakan. Apalagi ada sebuah pandangan jika dengan bertamu dan menerima tamu menambah rezeki. Hal itu ternyata benar-benar terjadi.

Si Pejabat Kabupaten itu memberikan beberapa juta demi pembangunan musala. Sungguh, ayah Mail langsung menerima. Sekalipun Ibu Mail tak menerima akibat takut jika uang tersebut merupakan suap demi tercapainya kepentingan Si Pejabat Kabupaten. Tapi, Ayah Mail bersikukuh menerima pundi-pundi rupiah.

“Si Pejabat itu memberikan hal tersebut katanya sebagai nazar ketika terpilih. Dan bukankah pemilukada telah berakhir. Jadi, apa yang perlu ditakutkan.”

Mendengar penjelasan itu, Mail kecil dan ibunya menjadi lega. Pembangunan musala pun langsung dilakukan. Musala yang awalnya hanya berupa ayaman kayu berubah menjadi bangunan permanen dengan baluran semen. Akibatnya santri di tempat tersebut bertambah.

Fenomena yang terjadi pada cerpen mencari ustaz mengkisahkan seorang pejabat bernazar ketika terpilih lagi akan membangun tempat ibadah setelah pemilu usai. Hal tersebut tentunya menjadi perhatian masyarakat sekitar kampung tersebut. akibat terjadi framing bahwasannya pejabat tersebut bermaksud baik. Fenomena tersebut biasa terjadi di Indonesia. praktik-praktik seperti datang ke pesantren, kediaman kyai, pembangunan masjid, membangun kelompok religius dsb.

Membaca keseluruhan karya-karya yang Gusti Trisno tulis dapat disadari dan diambil benang merahnya, seperti museum ibu, burung bapak yang membuatku cemburu, sebuah harapan di tanah rantau, kematian cerita, cerita yang mengubah segalanya, mereka bilang ibuku monster, sifat kembali uang, rujak kenangan, dan angka-angka yang pandai berbicara, yakni permasalahan yang terjadi tidak jauh dari ruang lingkup keluarga. Keluarga menjadi tempat pembinaan dan menguatkan satu sama lain. Pentingnya pendidikan karakter sejak/mulai dari ruang lingkup keluarga. Kurangnya harmonis hubungan antar keluarga menimbulkan konflik dan permasalahan. Cerpen mencari ustaz menghadirkan 3 permasalahan, yaitu fenomena dekadensi karakter pemuda, kemiskinan dan praktik negara terhadap agama. Namun, dalam alur kisahnya sedikit sulit dipahami karena sering terjadi perubahan tempat dan peristiwa.


 

Daftar Rujukan

Taufiq, Akmad. 2017. Sastra multikultural kontruksi identitas dan praktik diskursif negara dalam berkembangan Sastra Indonesia. Intras Publishing: Malang.

Kemendikbud. 2017. Peta jalan generasi emas 2045.

Sipayung, Margaretha Ervina. 2016. Konflik sosial dalam novel maryam karya okky madasari: kajian sosiologi sastra. Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 10, no 1, hal 23-34.



[1] Kemendikbud RI, 2017.

[2] Taufiq, Akmad. 2017. Sastra multikultural kontruksi identitas dan praktik diskursif negara dalam berkembangan Sastra Indonesia. Intras Publishing: Malang.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama